Bimbang

Semakin kuat hati ini mempengaruhi jalannya pikiran untuk tetap bersama bergandengan tangan. Tapi semakin kuat pula logika dan fakta lain cerita. Setiap hari ada saja bukti baru yang mau tak mau menyalahkan sikapnya, sampai matipun dia tak akan pernah merasa berbuat salah. Ada saja bisikan-bisikan dalam hati yang memaksaku untuk menyebutnya pecundang, walau kalimat itu tertahan ditenggorokan dan hati ini mendadak nyeri, aku tau semua ini mungkin diluar kendalinya.

Aku memang bukan seseorang yang pandai bergaul dan ahli dalam menaklukkan keadaan. Aku tak pernah mendapatkan teman baik dalam hidup. Tapi dengan segenap daya yang ada aku akan berusaha menjadi teman terbaik. Aku hanya butuh dukungan untuk bisa, untuk mampu. Sesungguhnya aku takut menghadapi dunia sendirian. Karena selama ini aku selalu sendirian. Dan tak menyenangkan. 

Aku bukan orang yang pandai berbagi. Semua hal, pahit getirnya dunia kutelan bulat-bulat. Tak pernah mengandalkan siapapun untuk membantuku menyelesaikan masalah. Tapi rasanya tak sehat kalau dalam hubungan ini kita tak saling membagi. Karena beberapa tahun yang lalu deklarasi cinta yang dia kibarkan sangatlah memesona. Membuat aku berani mengambil keputusan penting tanpa ragu-ragu. Dan berharap bisa mengandalkan hubungan ini, sebagai percikan semangat menghadapi hujan dan badai. Maka dari itu kubuang rasa ingin memiliki akan kesempurnaan yang semu. Aku siap berbekal dua hal saja, hatiku dan hatinya. Naif memang. Tapi aku tak ambil pusing. Dunia terlalu sering memberikan kegetiran, jadi jika disebut seorang naif itu tak akan jadi soal.

Ayolah, kita usahakan ini bersama-sama sampai selesai. Sampai benar-benar tujuan murni kita tercapai. Sampai dunia melihat bahwasanya cinta itu memang luar biasa. Jangan kacaukan semua ini. Jangan kacaukan hanya karena perkara "tisu dan ingus".

Atau jangan-jangan ternyata semua ini bukan karena dia tak mau, melainkan Tuhan menghendaki aku berjuang sendiri sampai mati?