Seorang teman pernah berkata "Aku dikejar-kejar waktu dan embel-embel mengenai karir dan jodoh".
Hidup memang layaknya arena pacuan, riuh-gemuruh oleh penonton dan perkara judi taruhan. Tak ada yang tau soal menang dan kalah, karena semua dipertaruhkan berdasarkan permainan nasib dan untung-untungan, yang mana memang sebagian pemain besar tak goblok dan asal main, perhitungan matang dan strategi-strategi tentulah ada.
Hidup memang layaknya arena pacuan, riuh-gemuruh oleh penonton dan perkara judi taruhan. Tak ada yang tau soal menang dan kalah, karena semua dipertaruhkan berdasarkan permainan nasib dan untung-untungan, yang mana memang sebagian pemain besar tak goblok dan asal main, perhitungan matang dan strategi-strategi tentulah ada.
Jodoh dan rejeki itu memang bukan kita kuasanya. Jadi semua serba tanda tanya. Dua perkara itu adalah hal yang sangat mengganggu pikiran, terlebih saat TV dan lampu kamar sudah dipadamkan, lantas selimut ditarik niat bersiap berangkat lelap. Saat mata belum mau terkatup, lalu pikiran melayang ke lautan bayangan tanpa ujung.
Terlebih tadi malam, dada rasanya mau meledak, mungkin akan kejadian andai saja dibuat oleh manusia, yang jenius sekalipun. Satu hal yang aku tak bisa mentolerir, insensitivity. Apakah Tuhan hanya menciptakan "kepekaan/sensitivity" itu hanya untuk wanita? Sehingga membuat wanita begitu rapuh, mendayu-dayu, dan dikatakan "lebay/berlebihan" oleh bahasa anak sekarang. Lantas pria tak diberi sedikit saja, oleh karenanya mereka cenderung terlihat lebih kuat, lebih berdiri kokoh, lebih siap dan mampu "membunuh" ketimbang wanita?
I do tired. Really do. Kalau saja hati bisa dipijat, mungkin aku adalah pelanggan tetap si tukang pijat karena bolak-balik pijat hati. Tak mengarah ke arah yang lebih baik dalam kisah bertahun-tahun. Hanya aku yang bersikeras bertahan dan memperjuangkan. Jadi, bagai berdiri dengan satu kaki, satu kaki itu lelah, tubuh jatuh menyungkur tanah. Tak ada drama "peduli kasih" oleh satu kaki yang lain. Hanya melihat kemudian meminta maaf. Tapi maaf sudah tak berguna lagi saat itu.
Dalam kalimat verbal, dalam bahasa tubuh, sudah kuutarakan semua hal yang kubutuhkan, just love. L.O.V.E. Tapi bahkan itupun aku tak berhak menerima. It's really hard to decide when you're too tired to hold on. You're too in love to let it go.
Mungkin ini yang namanya "benar-benar" hidup. Terkadang tak adil dan tak berhasil. Tapi setidaknya menempa diri tidak menjadi manusia yang nihil.
No comments:
Post a Comment