Ngomong-ngomong soal keyakinan yang di anut seseorang, saya lahir dan dibesarkan didaerah Timur yang kental dengan nilai agama. Islam. Ketika saya sekolah dasar, guru agama kami benar-benar meyakinkan bahwa agama kami lah yang paling benar, sampai ada sebuah pernyataan bahwasanya kaum kafir yang tidak memeluk agama Islam sampai akhir hayatnya, maka akan membusuk dineraka.
Lantas bagaimana dengan manusia seperti Ny. Touhy? Dia lahir dan besar sebagai seorang wanita kristen yang taat, sama seperti saya yang lahir dan besar sebagai seorang muslim. Kami yakin dan patuh pada ajaran dan agama yang dianut sejak nenek moyang kami masing-masing, bukan memeluk agama berdasarkan pencarian kebenaran, karena sudah meyakini bahwasanya ajaran masing-masing adalah benar adanya.
Lalu terjamin kah saya masuk surga karena telah memeluk Islam sejak lahir? Dan pasti kah Ny. Touhy masuk neraka karena ia tidak memeluk Islam?, padahal ia telah melakukan banyak hal untuk manusia lainnya.
Saya pikir untuk urusan surga-neraka tidak bisa hanya disimpulkan dari satu sisi kehidupan seseorang, Tuhan tentu punya perhitungan sendiri. Oleh karenanya, betapa keragaman di dunia ini begitu indah kalau masing-masing dari kita melihatnya indah. Agamaku agamaku, agamamu agamamu.
Suatu malam, Cak Nun bertanyadalam sebuah forum,
"Apakah anda semua punya tetangga?"
"Tentu saja punya".
Cak Nun melanjutkan bertanya : "Punya istri enggak Tetangga Anda?"
Sebagian hadirin menjawab : "Ya, punya dong".
"Apakah anda pernah lihat kaki istri tetangga Anda itu? Jari-jari kakinya lima atau tujuh? Mulus atau ada bekas korengnya ?"
Kebanyakan menjawab : "Tidak pernah memperhatikan Cak. Ono opo Cak?"
Cak Nun ndak peduli.
Dia tanya lagi : "Body-nya sexy enggak?"
Orang-orang tak lagi bisa menahan tertawa.
Cuma Cak Nun yang tersenyum tipis.
"Jadi ya begitu. Jari kakinya lima atau tujuh. Bodynya sexy atau tidak bukan urusan kita,kan? Tidak usah kita perhatikan, tak usah kita amati, tak usah kita dialogkan, diskusikan atau perdebatkan. Biarin saja".
"Ya apa urusan kita ? Nah, keyakinan keagamaan orang lain itu ya ibarat istri orang lain. Ndak usah diomong-omongkan, ndak usah dipersoalkan benar salahnya, mana yang lebih unggul atau apapun. Tentu, masing-masing suami punya penilaian bahwa istrinya begini begitu dibanding istri tetangganya, tapi cukuplah disimpan didalam hati saja".
Dia melanjutkan serius : "Bagi orang non-Islam, agama Islam itu salah. Dan itulah sebabnya ia menjadi orang non-Islam. Kalau dia beranggapan atau meyakini bahwa Islam itu benar ngapain dia jadi non-Islam? Demikian juga, Bagi orang Islam, agama lain itu salah, justru berdasar Itulah maka ia menjadi orang Islam. Tapi, sebagaimana istri tetangga, itu disimpan saja didalam hati, jangan diungkapkan, diperbandingkan, atau dijadikan bahan seminar atau pertengkaran.
Biarlah setiap orang memilih istri sendiri-sendiri, dan jagalah kemerdekaan masing-masing orang untuk menghormati dan mencintai istrinya masing-masing, tak usah rewel bahwa istri kita lebih mancung hidungnya karena bapaknya dulu sunatnya pakai calak dan tidak pakai dokter, umpamanya. Dengan kata yang lebih jelas, teologi agama-agama tak usah dipertengkarkan, biarkan masing-masing pada keyakinannya. "
Cak Nun terus berkata : "Itu prinsip kita dalam memandang berbagai agama. Sementara itu orang muslim yang mau melahirkan padahal motornya gembos, silakan pinjam motor tetangganya yang beragama Katolik untuk mengantar istrinya ke rumah sakit. Atau, Pak Pastor yang sebelah sana karena baju misanya kehujanan, padahal waktunya mendesak, dia boleh pinjam baju koko tetangganya yang NU maupun yang Muhamadiyah. Atau ada orang Hindu kerjasama bikin warung soto dengan tetangga Budha, Kemudian bareng-bareng bawa colt bak ke pasar dengan tetangga Protestan untuk kulakan bahan-bahan jualannya. Begitu."
"Jadi ndak usah meributkan teologi agama orang lain. Itu sama aja anda ngajak gelut tetangga anda. Mana ada orang yang mau isterinya dibahas dan diomongin tanpa ujung pangkal. Tetangga-tetangga berbagai pemeluk agama, warga berbagai parpol, golongan, aliran, kelompok, atau apapun, silakan bekerja sama di bidang usaha perekonomian, sosial, kebudayaan, sambil saling melindungi koridor teologi masing-masing. "
"Kerjasama itu dilakukan bisa dengan memperbaiki pagar bersama-sama, bisa gugur gunung membersihkan kampung, bisa pergi mancing bareng bisa main gaple dan remi bersama. Tidak ada masalah lurahnya Muslim, cariknya Katolik, kamituwonya Hindu, kebayannya Gatholoco, atau apapun. Itulah lingkaran tulus hati dgn hati. Itulah maiyah," ujarnya.
"Apakah anda semua punya tetangga?"
"Tentu saja punya".
Cak Nun melanjutkan bertanya : "Punya istri enggak Tetangga Anda?"
Sebagian hadirin menjawab : "Ya, punya dong".
"Apakah anda pernah lihat kaki istri tetangga Anda itu? Jari-jari kakinya lima atau tujuh? Mulus atau ada bekas korengnya ?"
Kebanyakan menjawab : "Tidak pernah memperhatikan Cak. Ono opo Cak?"
Cak Nun ndak peduli.
Dia tanya lagi : "Body-nya sexy enggak?"
Orang-orang tak lagi bisa menahan tertawa.
Cuma Cak Nun yang tersenyum tipis.
"Jadi ya begitu. Jari kakinya lima atau tujuh. Bodynya sexy atau tidak bukan urusan kita,kan? Tidak usah kita perhatikan, tak usah kita amati, tak usah kita dialogkan, diskusikan atau perdebatkan. Biarin saja".
"Ya apa urusan kita ? Nah, keyakinan keagamaan orang lain itu ya ibarat istri orang lain. Ndak usah diomong-omongkan, ndak usah dipersoalkan benar salahnya, mana yang lebih unggul atau apapun. Tentu, masing-masing suami punya penilaian bahwa istrinya begini begitu dibanding istri tetangganya, tapi cukuplah disimpan didalam hati saja".
Dia melanjutkan serius : "Bagi orang non-Islam, agama Islam itu salah. Dan itulah sebabnya ia menjadi orang non-Islam. Kalau dia beranggapan atau meyakini bahwa Islam itu benar ngapain dia jadi non-Islam? Demikian juga, Bagi orang Islam, agama lain itu salah, justru berdasar Itulah maka ia menjadi orang Islam. Tapi, sebagaimana istri tetangga, itu disimpan saja didalam hati, jangan diungkapkan, diperbandingkan, atau dijadikan bahan seminar atau pertengkaran.
Biarlah setiap orang memilih istri sendiri-sendiri, dan jagalah kemerdekaan masing-masing orang untuk menghormati dan mencintai istrinya masing-masing, tak usah rewel bahwa istri kita lebih mancung hidungnya karena bapaknya dulu sunatnya pakai calak dan tidak pakai dokter, umpamanya. Dengan kata yang lebih jelas, teologi agama-agama tak usah dipertengkarkan, biarkan masing-masing pada keyakinannya. "
Cak Nun terus berkata : "Itu prinsip kita dalam memandang berbagai agama. Sementara itu orang muslim yang mau melahirkan padahal motornya gembos, silakan pinjam motor tetangganya yang beragama Katolik untuk mengantar istrinya ke rumah sakit. Atau, Pak Pastor yang sebelah sana karena baju misanya kehujanan, padahal waktunya mendesak, dia boleh pinjam baju koko tetangganya yang NU maupun yang Muhamadiyah. Atau ada orang Hindu kerjasama bikin warung soto dengan tetangga Budha, Kemudian bareng-bareng bawa colt bak ke pasar dengan tetangga Protestan untuk kulakan bahan-bahan jualannya. Begitu."
"Jadi ndak usah meributkan teologi agama orang lain. Itu sama aja anda ngajak gelut tetangga anda. Mana ada orang yang mau isterinya dibahas dan diomongin tanpa ujung pangkal. Tetangga-tetangga berbagai pemeluk agama, warga berbagai parpol, golongan, aliran, kelompok, atau apapun, silakan bekerja sama di bidang usaha perekonomian, sosial, kebudayaan, sambil saling melindungi koridor teologi masing-masing. "
"Kerjasama itu dilakukan bisa dengan memperbaiki pagar bersama-sama, bisa gugur gunung membersihkan kampung, bisa pergi mancing bareng bisa main gaple dan remi bersama. Tidak ada masalah lurahnya Muslim, cariknya Katolik, kamituwonya Hindu, kebayannya Gatholoco, atau apapun. Itulah lingkaran tulus hati dgn hati. Itulah maiyah," ujarnya.

No comments:
Post a Comment